Khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat seseorang yang mabuk. Ketika ia ditangkap untuk dihukum dera, tiba-tiba ia dimaki oleh orang yang mabuk tersebut. Khalifah Umar tidak jadi melaksanakan hukum deranya.
Melihat Khalifah Umar seperti itu, para sahabat bertanya, "Ya amirul mukminin, mengapa setelah ia memaki Anda tiba-tiba Anda meninggalkan dia?" Khalifah menjawab, "Itu karena ia membuat aku jengkel. Kalau aku menghukumnya, mungkin karena aku marah kepadanya, bukan karena ia melanggar hukum Allah, dan aku tidak suka memukul seseorang hanya karena membela diriku sendiri."
Sangat tipis dan susah untuk membedakan antara menghukum karena Allah SWT dan menghukum karena amarah. Karena bagaimanapun, ketika kita menghukum, amarah akan menyertai bentuk hukuman yang kita berikan. Tidak seperti yang menimpa Khalifah Umar yang tidak bisa meneruskan eksekusi, karena takut berbuat salah dengan tidak tulus menghukum orang yang berbuat salah.
Hal yang sama juga pernah dialami Sayyidina Ali ra yang tidak jadi membunuh ketika sedang berada di medan perang lantaran ia telah diludahi oleh musuh yang sudah tak berdaya. Ali RA khawatir kalau membunuh musuhnya tersebut, bukan semata-mata karena menegakkan agama Allah, melainkan akibat dorongan nafsu dan emosi.
Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak kita temukan perselisihan di antara manusia. Bahkan, hampir semua manusia akan mudah terpancing emosinya, hingga kemudian meledaklah kemarahannya.
Mengendalikan amarah memang tidak mudah. Dan, hanya orang-orang tertentu yang bisa menahan dan mengendalikan kemarahannya. Amarah ada di dalam diri manusia. Amarah adalah motivasi atau energi yang mendorong dan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Alangkah baiknya bila amarah itu diarahkan untuk menopang kinerja dan kreativitas hidup, sehingga menjadi lebih dinamis.
Banyak kerugian yang akan didapatkan ketika seseorang sedang emosi dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Pekerjaan bisa menjadi terbengkalai dan rekan sejawat pun bisa kena marah pula. Akibatnya, persoalan kecil bisa menjadi besar.
"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS al-Anbiya [21]: 87).
Rasulullah SAW bersabda, Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW; 'Nasihatilah saya!' Rasulullah SAW bersabda, 'Janganlah kamu marah!' Orang itu berkali-kali meminta nasihat kepada Rasulullah SAW, tetapi Rasul tetap menjawabnya dengan, 'Janganlah kamu marah'." (HR Bukhari).
Dari hadis di atas, tampak jelas bahwa Rasulullah SAW memerintahkan manusia untuk senantiasa menahan marahnya ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya. Sebab, akan banyak kerugian yang akan diterima, manakala kita tidak mampu menahan amarah.
Melihat Khalifah Umar seperti itu, para sahabat bertanya, "Ya amirul mukminin, mengapa setelah ia memaki Anda tiba-tiba Anda meninggalkan dia?" Khalifah menjawab, "Itu karena ia membuat aku jengkel. Kalau aku menghukumnya, mungkin karena aku marah kepadanya, bukan karena ia melanggar hukum Allah, dan aku tidak suka memukul seseorang hanya karena membela diriku sendiri."
Sangat tipis dan susah untuk membedakan antara menghukum karena Allah SWT dan menghukum karena amarah. Karena bagaimanapun, ketika kita menghukum, amarah akan menyertai bentuk hukuman yang kita berikan. Tidak seperti yang menimpa Khalifah Umar yang tidak bisa meneruskan eksekusi, karena takut berbuat salah dengan tidak tulus menghukum orang yang berbuat salah.
Hal yang sama juga pernah dialami Sayyidina Ali ra yang tidak jadi membunuh ketika sedang berada di medan perang lantaran ia telah diludahi oleh musuh yang sudah tak berdaya. Ali RA khawatir kalau membunuh musuhnya tersebut, bukan semata-mata karena menegakkan agama Allah, melainkan akibat dorongan nafsu dan emosi.
Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak kita temukan perselisihan di antara manusia. Bahkan, hampir semua manusia akan mudah terpancing emosinya, hingga kemudian meledaklah kemarahannya.
Mengendalikan amarah memang tidak mudah. Dan, hanya orang-orang tertentu yang bisa menahan dan mengendalikan kemarahannya. Amarah ada di dalam diri manusia. Amarah adalah motivasi atau energi yang mendorong dan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Alangkah baiknya bila amarah itu diarahkan untuk menopang kinerja dan kreativitas hidup, sehingga menjadi lebih dinamis.
Banyak kerugian yang akan didapatkan ketika seseorang sedang emosi dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Pekerjaan bisa menjadi terbengkalai dan rekan sejawat pun bisa kena marah pula. Akibatnya, persoalan kecil bisa menjadi besar.
"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS al-Anbiya [21]: 87).
Rasulullah SAW bersabda, Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW; 'Nasihatilah saya!' Rasulullah SAW bersabda, 'Janganlah kamu marah!' Orang itu berkali-kali meminta nasihat kepada Rasulullah SAW, tetapi Rasul tetap menjawabnya dengan, 'Janganlah kamu marah'." (HR Bukhari).
Dari hadis di atas, tampak jelas bahwa Rasulullah SAW memerintahkan manusia untuk senantiasa menahan marahnya ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya. Sebab, akan banyak kerugian yang akan diterima, manakala kita tidak mampu menahan amarah.
Oleh Encep Dulwahab-republika koran
se-masa 05 Jun, 2011--
Source: http://blogse-masa.blogspot.com/2011/06/menahan-marah.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com
0 komentar on Menahan Marah :
Post a Comment and Don't Spam!