Sampai usianya yang genap 80 tahun ini masih terdengar keluhan di kalangan NU bahwa, selama ini peran kesejarahan NU yang sangat besar dalam upaya mendirikan dan menjaga republik ini diremehkan oleh para sejarawan dan politisi, sehingga hilanglah peran NU dalam sejarah nasional. Pengabaian terhadap sejarah NU itu tidak hanya dilakukan oleh orang luar, ternyata orang NU sendiri, termasuk para elitenya, tidak sedikit yang mengabaikan sejarah tersebut. Kalaupun ada pikiran hanya merupakan gerutuan, bukan keprihatinan, sehingga tidak menggerakkan spirit untuk menggali dan menelusuri sejarah gerakannya sendiri.
Sejarah memang tidak pernah dimaknai secara seragam, ada kelompok memandang kajian sejarah merupakan keharusan, ada yang memandang hanya sebagai pengisi waktu luang, dilakukan bila diperlukan untuk pelipir lara, dan ada yang memandang sejarah sebagai daerah terlarang. Penglihatan itu sangat ditentukan oleh kedudukan dan kepentingan seseorang, sehingga cara pandangnya juga berbeda.
Bagi seorang yang tidak memiliki agenda untuk membangaun masa depan NU, menelaah kembali sejarah NU memang tidak penting, dianggap nostalgia hanya menghabisakan waktu. Atau sekadar romantisme seorang yang tak berdaya menghadapi kenyataan hidup. Sebaliknya, sejarah dianggap wilayah tabu, yang harap diinjak apalagi dibuka. Ini pandangan kelompok yang hendak menghancurkan suatu kelompok, organisasi, bangsa atau negara.
Masyarakat harus dipisah dengan sejarah dan masa lalunya, sebab kalau mereka tahu sambungannya akan menemukan harga diri, menemukan jati diri. Sadar terhadap ancaman itu, bagai perusak bangsa, akan segera duluan melakukan kajian sejarah, untuk memutus akar, atau membelokkan arah, memalsukan dan menyembunyikan fakta dan sebagainya. Walhasil ketika seseorang memasuki sejarahnya sendiri, sebenarnya masuk dalam sejarah yang telah dikacaukan. Akhirnya tidak menemui sesuatu yang berharga, kecuali seperangkat kegagalan dan kekecewaan. Itulah langkah yang dilakukan para kolonial di Asia, Afrika maupun di Benua Indian.
Sebaliknya bagi kelompok yang punya agenda untuk membangun sebuah bangsa, atau membangun sebuah organisasi, kajian sejarah merupakan langkah awal yang sangat penting, yang harus dan wajib dilakukan. Bila sejarah itu telah dibengkokkan oleh kelompok kolonial akan diluruskan, bila telah diputus akan segera disambungkan, bila diacak akan segera ditata ulang. Bagi mereka ini sejarah merupakan derap kebudayaan yang merupakan cermin dari gelora kerohanian. Untuk membangkitkan derap kebudayaan dan gelora kerohanaian itu, maka sejarah perlu disambung sebagai sumber energi yang bisa menggerakkan.
Pahlawan dan pemimpin bangsa yang besar, Patiunus, harus mempelajari sejarah Nusantara ketika harus menghimpun kekuatan nasional menghadapi Portugis. Sultan Agung menyususun sejarah Nasional sebelum melakukan serangkaian pembaruan sosial dan kemudian melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Pahlawan maha agung Pangeran Diponegoro, sebelum menyusun kekuatan melawan Belanda, terlebih dulu melakukan pemetaan politik sejak zaman Majapahit, Demak hingga Mataram.
Setelah menemukan benang merah sejarah pergerakan itu barulah dia mengobarkan perlawanan, yang didukung oleh seluruh elemen masyarakat, sejak para raja, para para pangeran, para kiai, para bupati, para pedagang dan semua rakyat jelata. Sehingga menjadi perang kemerdekaan terbesar yang pernah ada., sehingga membuat Belanda hampir terjungkal. Sejak masa itu Belanda gigih mempelajari sejarah Nusantara, untuk membabat sejarah itu, serta untuk memperkuat keutuhan koloninya.
Melihat kenyataan itu, belajar sejarah bukan sebuah klangenan, melainkan untuk membangun sebuah peradaban. Peradaban hanya bisa tumbuh di lahan yang cocok. Bila sebuah agenda pembaruan diletakkan di luar konteks budaya masyarakat, maka hanya bisa menempel, tetapi tidak akan bisa berkembang. Belakangan ini betapa banyak agenda besar NU yang didatangkan dari luar. Tetapi semuanya itu mengalami kemandekan, karena memang tidak pernah dikembangkan melalui tradisi NU.
Saat ini NU kesulitan melakukan konsolidasi organisasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Kesulitan itu tidak akan bisa teratasi bila sejarah perkembangan NU baik di pusat maupun di berbagai daerah tidak diketahui. Ketidak tahuan itu akan mengakibatkan tidak terditeksinya unsur potensial dalam pemerkuat organisasi, juga tidak mampu membuat jaringan yang selama ini digunakan sebagai penyebaran dan kordinasi NU. Bila hal itu tidak diketahui maka NU akhirnya juga tidak bisa menemukan agendanya sendiri. Akhirnya NU hanya sibuk menjadi pelaksana agenda kelompok lain, yang tentu saja akan mengaburkan arah dan tujuan khithah NU.
Mengkaji ulang sejarah sendiri ini akan membantu NU keluar dari involusi ini. Sejarah tidak cukup dikaji dan digali sekali, setiap zaman harus selalu digali, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Melalui perenungan selama peringatan usia NU yang telah mencapai 80 tahun pada tahun 2006 ini.
sumber NU.co.id
Dasam Syamsudin 17 Jun, 2011--
Source: http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2011/06/siapa-yang-masih-peduli-dengan-sejarah.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com
0 komentar on Siapa Yang Masih Peduli Dengan Sejarah NU? :
Post a Comment and Don't Spam!